Foto ini merupakan foto parade pasukan Laskar Hizbullah pada peresmian Dewan Kelaskaran Pusat dan Seberang yang dibentuk di Yogyakarta, pada 12 November 1946. Dewan ini dibentuk untuk memperkokoh kerjasama di antara laskar-laskar dan TRI - TNI.
Bermula ketika Jepang berkuasa, mereka kemudian melakukan pendekatan kepada para ulama dan tokoh Islam. Melalui seorang Jepang yang beragama Islam, Abdul Hamid Ono,kemudian meminta kepada KH. Wachid Hasyim agar mengerahkan para santri untuk masuk Heiho, tetapi permintaan itu tidak dipenuhi.
KH. Wachid Hasyim menjawab dan mengajukan permintaan agar para santri diberi latihan kemiliteran untuk pertahanan dalam negeri. Mempertahankan sejengkal tanah air akan lebih menggugah para santri, daripada bertempur di daerah yang letaknya jauh dari tanah air.
Atas permintaan penguasa Jepang itulah yang kemudian mengilhami KH. Wachid Hasyim dan tokoh-tokoh Masyumi untuk mendidik para santri di dalam kemiliteran, yang kemudian diberi nama “Hizbullah” (Tentara Allah). Pejuang yang terdiri dari para tokoh Islam seperti para ulama, kyai dan kalangan santri, memang nyaris tidak disebutkan dalam catatan sejarah perjuangan negeri ini. Namun begitu atas kiprah mereka juga eksistensi Republik masih terjaga hingga sekarang.
Bahkan dalam Pertempuran Surabaya,peranan para kyai ini begitu penting, setidaknya atas petuah, nasehat dan doa para kyai dan ulama mampu membangkitkan semangat pertempuran para pemuda pejuang termasuk Laskar Hizbullah. “Bagi sekalian orang Islam dewasa, Fardhu ’ain hukumnya berjuang melawan musuh yang akan menjajah kembali Indonesia”. Kyai Hasyim juga mengeluarkan fatwa: “Mati di medan perang dalam rangka memerangi musuh umat Islam adalah mati syahid. Orang yang mati seperti itu akan masuk surga.” Demikianlah bunyi fatwa KH. Hasyim Asy’ari, Rais Akbar NU yang juga pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang yang kemudian dikenal sebagai Resolusi Jihad.
Foto : Repro dari arsip.jatengprov.go.id
Bermula ketika Jepang berkuasa, mereka kemudian melakukan pendekatan kepada para ulama dan tokoh Islam. Melalui seorang Jepang yang beragama Islam, Abdul Hamid Ono,kemudian meminta kepada KH. Wachid Hasyim agar mengerahkan para santri untuk masuk Heiho, tetapi permintaan itu tidak dipenuhi.
KH. Wachid Hasyim menjawab dan mengajukan permintaan agar para santri diberi latihan kemiliteran untuk pertahanan dalam negeri. Mempertahankan sejengkal tanah air akan lebih menggugah para santri, daripada bertempur di daerah yang letaknya jauh dari tanah air.
Atas permintaan penguasa Jepang itulah yang kemudian mengilhami KH. Wachid Hasyim dan tokoh-tokoh Masyumi untuk mendidik para santri di dalam kemiliteran, yang kemudian diberi nama “Hizbullah” (Tentara Allah). Pejuang yang terdiri dari para tokoh Islam seperti para ulama, kyai dan kalangan santri, memang nyaris tidak disebutkan dalam catatan sejarah perjuangan negeri ini. Namun begitu atas kiprah mereka juga eksistensi Republik masih terjaga hingga sekarang.
Bahkan dalam Pertempuran Surabaya,peranan para kyai ini begitu penting, setidaknya atas petuah, nasehat dan doa para kyai dan ulama mampu membangkitkan semangat pertempuran para pemuda pejuang termasuk Laskar Hizbullah. “Bagi sekalian orang Islam dewasa, Fardhu ’ain hukumnya berjuang melawan musuh yang akan menjajah kembali Indonesia”. Kyai Hasyim juga mengeluarkan fatwa: “Mati di medan perang dalam rangka memerangi musuh umat Islam adalah mati syahid. Orang yang mati seperti itu akan masuk surga.” Demikianlah bunyi fatwa KH. Hasyim Asy’ari, Rais Akbar NU yang juga pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang yang kemudian dikenal sebagai Resolusi Jihad.
Foto : Repro dari arsip.jatengprov.go.id
Comments
Post a Comment